KIDUNG
PENGERTIAN
Kidung adalah
hasil karya sastra jaman Jawa Pertengahan (Majapahit akhir), menggunakan bahasa
Jawa Tengahan, bentuknya tembang, baik nama maupun metrum yang dianut seperti
halnya Tembang Macapat.
Kidung sangatlah
berbeda dengan Kakawin (karya
sastra Jawa Kuna), Kakawin merupakan
karya sastra Jawa Kuna yang mendapat pengaruh dari India, sedangkan Kidung asli
Jawa, dia tidak mengenal istilah Guru dan Lagu (suara
panjang dan pendek). Walaupun seperti Macapat, tetapi
metrum Kidung belum
seketat Macapat.
Perbedaan antara metrum kakawin dan
metrum kidung pada
pokoknya merupakan perbedaan dalam persajakan, umumnya diterima bahwa
metrum kidung tidak
berasal dari India, melainkan dari Jawa. Metrum kidung disebut
metrum tengahan dan prinsip dasarnya sama dengan metrum dalam puisi Jawa
Modern yang dinamakan macapat. Adapun
ciri-ciri umumnya sebagai berikut :
1. Jumlah baris dalam setiap bait tetap sama
selama belum ganti metrumnya. Keanekaan terjadi karena metrum tertentu yang
dipakai. Semua metrum tengahan mempunyai lebih dari empat baris, berbeda dengan kakawin.
2. Jumlah suku kata dalam setiap baris tetap,
tetapi panjang baris itu dapat berubah menurut kedudukannya dalam bait.
Dipandang dari sudut ini, maka setiap metrum tertentu memperlihatkan polanya
sendiri.
3. Sifat sebuah vokal dalam suku kata yang
menutup setiap baris juga ditentukan oleh metrum. Dengan demikian persajakan kidung memperlihatkan
semacam rima yang sama tidak dikenal dalam metrum India. Contoh
1. Kidung Sunda (Sinom)
Wekasan alon angucap
atuduh eng tandha mantri
mwang bala prasama kinon
angambil sawa ning
mantri
sang paratra ajurit
kinon padha pinahayu
tan kawarnaa mangko
kuneng kawarnaa malih
sang natheng Su-
ndha mangko adandan bela
Terjemahan :
Akhirnya ia bersabda dengan tenang
memberikan perintah kepada para perwira
dan pasukan pada umumnya
agar mereka mengambil jenazah perdana menteri
yang gugur di medan pertempuran
serta mengadakan upacara penyucian seperti biasa
Ini akan kita lewati dengan berdiam diri
kini kita akan berbicara mengenai raja Sunda
yang mempersiapkan diri menghadap maut.
2. Kidung Sunda (Durma)
Atur sembah sang mantri
sinamadaya
sahur peksy amisinggihi
dhuh dewa pangeran
mangke patik bathara
umiring paduka aji
tumpureng rana
matyeng dagan nrepati
Terjemahan :
Semua mantri menyatakan kesediaan mereka
dan secara serentak menyetujui
dhuh sang raja
semua hamba paduka
bersedia terjun ke medan pertempuran
dan gugur di hadapan kaki sang raja.
Catatan :
Sebuah perbedaan dengan metrum macapat yang
sering dijumpai, di dalam pupuh kidung sering tersusun perpaduan berbagai
metrum, sehingga susunannya cukup rumit. Sebuah pupuh dapat terdiri 2 bait
dengan metrum A, disusul 2 bait metrum B, kemudian disusul 2 bait metrum C, dan
ini berulang-ulang, baru akhir pupuh ditutup dengan metrum A.
NASKAH KIDUNG
Ketiga koleksi besar yakni Singaraja, Jakarta,
dan Leiden yang juga mengkoleksi sastra Kidung, tetapi hanya
sedikit yang pernah diterbitkan. CC. Berg pernah menyunting Kidung Harsawijaya(1932), Ranggalawe (1931),
dan Kidung Sunda dalam
dua versi yang berbeda (1927 dan 1928). Tiga dari sepuluh pupuh Kidung Sorandaka pernah
disunting dengan disertai terjemahan oleh EJ van Berg (1938). Juga SO Robson
telah mengerjakan Wangbang Wideya, kidung Panji pertama
yang pernah diterbitkan dan kidung pertama
yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Edisi-edisi kritis disertai
terjemahan mengenai dua syair Jawa Pertengahan yang ditulis di Jawa Timur
pernah diterbitkan sebagai tesis doktor, yaitu Sudamala oleh
P. van Stein Callenfels (1932), dan Sri Tanjung oleh
Priyono (1937).
Bila dibandingkan dengan sastra kakawin, maka
kedudukan sastra kidung sungguh
tidak menguntungkan. Selain itu dapat dikatakan bahwa dipandang dari sudut mutu
sastra dan nilai puitis, sastra kidung kalah
dengan sastra kakawin. Begitu pula
di Bali yang secara aktif mempelajari warisan kebudayaan Jawa, sastra kidung juga
kurang mendapat perhatian. Dilihat dari sudut sastra maka pada umumnya kidung-kidung pada
umumnya memperlihatkan kekurangan-kekurangan. Para pengarangnya condong
mengulang-ulang hal yang sama tanpa alasan, ungkapan-ungkapan yang sama lebih
sering dihidangkan kembali daripada di dalam kakawin. Deskripsi
mengenai busana berbagai tokoh dibahas sampai mendetail dan diulangi kembali
menurut urutan yang sama bagi setiap tokoh, perubahan dalam deskripsi itu hanya
terjadi di sana-sini sejauh menyangkut warna dan pola pakaian serta jenis
manikam atau bunga yang dipakai bersama dengan perhiasan tradisional.
Uraian-uraian serupa ini mengisi banyak baris dan bahkan bait-bait, sehingga
banyak ruang terisi daripada yang biasanya disediakan dalam
majalah-majalah wanita guna membicarakan pakaian yang dikenakan berbagai tamu
di acara resepsi. Deskripsi mengenai watak tokoh-tokoh utama dalam
cerita-cerita sering kali menjemukan dan tidak mendalam. Dan dalam pelukisan
keindahan alam jarang ditemukan, bukti bahwa penyair langsung mengandalkan
observasi pribadi seperti yang terdapat dalam kakawin-kakawin besar.
Tetapi bukan berarti bahwa kidung-kidung sama
sekali tidak mengandung nilai sastra. Sering juga penyair memperlihatkan
kepandaiannya bila ia menceritakan sebuah kisah yang hidup dan menarik atau
melukiskan sebuah gambaran realitas mengenai latar cerita tersebut. Kebanyakan
cerita ditempatkan dalam atau di sekitar salah satu kraton di Jawa dan rupanya
kraton Bali lah yang menjadi contohnya. Di sini pengaruh Jawa masih terlihat
sangat kuat, Wangsa-wangsa yang memerintah dan sejumlah besar kaum bangsawan
adalah keturunan Jawa, entah seluruhnya entah sebagian saja.. Tradisi-tradisi
dan adat istiadat dalam banyak hal masih mirip dengan apa yang pernah terjadi
di Pulau jawa pada masa Hindu. Dengan demikian sastra Kidung dapat
menyediakan bahan yang luas sekali bagi seorang sarjana yang ingin meneliti
sejarah kebudayaan Bali-Jawa, misalnya mengenai upacara-upacara tertentu, juga
dalam hal agama.
KIDUNG-KIDUNG HISTORIS
Kidung-kidung di
bawah ini mempunyai ciri umum yang sama, yakni bahannya diambil dari tradisi
historis mengenai kerajaan Majapahit. Adapun lingkupnya ialah :
peristiwa-peristiwa yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Singhasari serta
didirikannya kerajaan baru yang untuk sebagian meneruskan kerajaan sebelumnya;
pertikaian-pertikaian di dalam tubuh kerajaan baru itu selama puluhan tahun
pertama sejak berdirinya, adegan mengenai rencana pernikahan antara raja Hayam
Wuruk dengan puteri raja Sunda yang gagal. Informasi ini bukan merupakan
simpulan dari sebuah penelitian yang menyatakan bahwa kisah-kisah-kisah ini
berakar pada kenyataan sejarah. Demikian juga bukan suatu pernyataan bahwa
sejauh manakah pengarang merasa terikat oleh apa yang mereka anggap kebenaran
historis dan sejauh mana mereka merasa bebas untuk mengubah kenyataan itu untuk
kebutuhan literer. Walaupun demikian, sekecil apapun sastra Kidung juga
merupakan sumber informasi penelitian sejarah kebudayaan suatu bangsa. Kidung-kidung historis
yang dimaksud, di antaranya adalah :
1. Kidung
Harsawijaya
4. Kidung Sunda
2. Kidung
Ranggalawe
5. Cerita-cerita Panji
3. Kidung
Sorandaka
6. Kidung Waseng (Sari)
BAHASA KIDUNG
Ciri-ciri umum bahasa
kidung, bila dibandingkan dengan bahasa kakawin :
1. Partikel tentu : ng dan ang tidak kita
jumpai secara terpisah; ikang (ng dihubungkan
dengan pronomina demonstratif ika ) biasanya diganti
dengan kang. Selain itu kita
jumpai juga sebagai partikel tentu : punang (misalnya punang nagari). Kata pun sendiri
sering dipakai sebagai penunjuk orang.
2. Kata ganti orang : di samping aku, isun, dan ingsun juga
biasa dipakai sebagai kata ganti orang pertama. Nghulun yang x
dalam bahasa Jawa Kuna demikian sering dipakai, dalam bahasa kidung tidak kita
jumpai. Bagi orang kedua dipakai ko (dengan nada
agak menghina) dan kita (-ta, -nta), tetapi
juga sira (-ira, -nira).
Ini selaras dengan bahasa Jawa Modern, tetapi perlu dicatat, bahwa sirajuga dipakai
sebagai kata ganti orang ketiga sesuai dengan bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian
kita harus memperhatikan konteks, supaya dapat membedakan antara kata ganti
orang ketiga selainya (-nya), kita
jumpai juga -ipun seperti
dalam Jawa Modern.
3. Pronomina demonstratif : dari kata-kata JK iki, ike, iku, iko, dan ika, hanya iki (menunjukkan
sesuatu yang dekat) dan iku (menunjukkan
sesuatu yang jauh) yang dipakai dalam bahasa kidung, sama seperti dalam bahasa
JM. Ika masih
dipakai dalam –nika, sebagai
pembatas kata benda. Perubahan dalam tempat juga pantas dicatat. Dalam JK
pronomina demonstratif mendahului kata benda yang dibatasi oleh partikel
definitif atau oleh sebuah keterangan pemeri (JK ikang musuh, iku ujarta),
sehingga boleh dikatakan, bahwa pronomina dipakai secara substantif, kata benda
yang ditunjuk menyusul sebagai tambahan, dalam bahasa kidung pemakaiannya
secara ajektif, sesuai dengan kebiasaan dalam bahasa JM, pronomina menyusul
kata benda (ujar ingsun iki, sa-ujar ira iku).
Di samping iki dan iku terdapat juga puniki, puniku, punika.
Selain mangkana (biasa
dalam JK), kita berjumpa dengan perubahan bunyi, mengkene dan mengkono).
4. Pembentukan kata dengan afiks : nasalisasi
bentuk-bentuk verbal umumnya menunjukkan suatu penyimpangan dari apa yang
menjadi kebiasaan bahasa JK dan mirip dengan bahasa JM. j menjadianj (anjanma, bukan angjanma), d biasanya menjadi and- (andudut bukan angdudut, andon bukanangdon) biarpun
kadang-kadang dijumpai susunan seperti dalam JK (angdadi disamping andadi); b-menjadi amb– (ambabad, bukan amabad; ambatang bukan amatang). Hanya
bentuk-bentuk dengan awalan s- mengikuti
kebiasaan JK, s dinasalisasi
menjadi n, bukan ny seperti
dalam JM (anurat, bukan anyurat).
Penghapusan awalan a- dalam
bentuk-bentuk yang dinasalisasi bukan sesuatu yang luar biasa (nuksma), sedangkan
dalam kakawin-kakawin bentuk
ini jarang dijumpai (mungkin karena kepentingan metrum).
5. Afiks (infiks atau prefiks) -um- dalam JK
disusun untuk menyatakan bentuk aktif baik bagi bentuk-bentuk verbal
intransitif maupun verbal transitif, bentuk yang kedua jarang dijumpai dalam
bahasakidung (gumawayaken, sumirnaken); dalam
JM bentuk tersebut dengan -aken dan -i sama sekali
tidak kelihatan. Untuk pembentukan bentuk pasif, kita menjumpai
infiks -in- yang biasa
saja dalam JK tetapi jarang dan agak arkhais dalam JM; sebagai prefiks, di
depan katadasar-katadasar yang berinisial vokal, baik in- (seperti
dalam JK) maupun ing- (seperti
dalam JM) sama terdapat.
6. Kata ganti perilaku ditunjukkan dalam
konstruksi pasif. dalam JK dipakai
sebuah sufiks pronominal (inalapku, inalapta), dalam JM sebuah
prefiks pronominal (takjupuk, kokjupuk ).Mengenai
bentuk pertama ini tidak dijumpai satu contoh pun dalam bahasa kidung. Bentuk
kedua biasanya dipakai bagi pelaku pertama, bersama dengan sun dan ngong (sun kon lunga, ngong
tunoni ). Unsur-unsur den dan depun yang
diprefekskan dan dalam pembentukan bentuk pasif menjalankan fungsi yang mirip,
seperti pada umumnya dijumpai dalam puisi JM dan prosa
yang lebih kuno, juga ditemukan dalam bahasa kidung, biarpun
tidak sangat sering. Terdapat banyak contoh yang memperlihatkan, bagaimana
partikel-partikel ini dipakai untuk mengungkapkan imperatif modal.
7. Bentuk a – an : Disamping
bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk yang dipakai dalamJK (aluwaran, abyuran) bahasa kidung memperlihatkan
kecenderungan bagi bentuk reduplikatif(akakangsen, asasraman) dengan
sering menghilangkan prefiks a- (susudukan, sasraman) ;
bentuk terakhir umum dipakai dalam JM.
Pembentukan kata benda dengan kombinasi afiks ka – an; Dalam JK, pembentukan kata
benda dengan kombinasi afiks ka – an mempunyai
berbagai fungsi; hanya pembentukan kata benda verbal pasif tidak dikenal baik
dalam bahasa kidung maupun
dalam bahasa JM.
8. Negasi :
partikel negatif yang biasa dipakai ialah tan, sama seperti dalam JK. Selaras pula dengan JK, ungkapan nora biasanya
berarti ‘tidak ada’, ‘tidak terdapat’ ; untuk mengungkapkan yang terakhir
bentuk norana (nora ana) tidak asing,
sedangkan kadang-kadang nora dipakai dalam arti
‘bukan’ seperti ora dalam JM. Suatu peralihan
serupa dapat diamati dalam kakawin-kakawin di
kemudian hari ; di sana kata taya tidak hanya
dipakai dalam arti ‘tidak ada’, melainkan juga dengan arti ‘tidak’. Di lain
pihak kata mboten dalam bahasa kidung dipakai
berdampingan dengan tan mboten, dan hanya dalam
arti yang asli yaitu ‘tidak ada’, sedangkan dalam JM kata boten berarti ‘tidak’.
Sebagai kata larangan dipakai aywa atau ayo, sesuai dengan JK haywa, biarpun bentuk JMaja dan sampun juga sering
dipakai.
9. Partikel penegas : Keanekaan partikel-partikel
penegas yang dalam JK, khususnya dalam
prosaJK, memainkan
peranan yang penting, sangat dikurangi dalam bahasa kidung. Hanya ta, si, po (JKpwa), kapo (JK Kapwa), rakwa, reko, reke sering dipakai
juga : sebaliknya beberapa partikel yang dalam JK tidak
dikenal, muncul disini (ari, rika, ena).
Dalam pemakaian ‘kata-kata gramatikal’ lainnya,
khususnya konjungsi, bahasa kidungmemperlihatkan
dengan jelas penyimpangan dari JK. Cukuplah
menunjukkan, bagaimana kata-kataJK yatanyan, narapwan, maran, marapwan,
matang yan tidak terdapat
dalam bahasa kidungmaupun dalam JM.
sumber: Kalangwan karya P.J. Zoetmulder
0 komentar:
Posting Komentar